Telah
kita ketahui bersama bahwa zaman atau era seperti saat ini merupakan sebuah era
yang digambarkan sebagai era yang sempurna. Hal ini karena pada zaman sekarang
umat manusia dapat melakukan hal apa saja yang diinginkannya. Di era seperti
saat ini kebutuhan manusia dalam segala aspek semakin tidak terkendali,
sementara alat pemuas kebutuhan semakin lama semakin menipis karena manusia
terus mengeksploitasi alat pemuas kebutuhan tersebut. Akan tetapi, manusia tak
puas dengan hanya mengeksploitasi, namun mereka menciptakan sebuah penemuan
yang bermanfaat untuk memudahkan kehidupan mereka. Namun, penemuan-penemuan
baru itu tidak hanya berdampak positif, melainkan akan berdampak negatif pula
apabila manusia yang memanfaatkan penemuan tersebut tidak arif dan bijak. Dalam
hal ini, dibutuhkan keseimbangan antara religiusitas dengan intelektualitas.
Intelektualitas
merupakan sebuah pemahaman tentang ilmu dan pengetahuan yang jika dimiliki oleh
seseorang maka orang tersebut akan membawa dirinya ke arah yang lebih maju. Dan
orang yang demikian disebut "orang intelek". Dan religiusitas sendiri
berasal dari kata religi yang dalam bahasa Indonesia berarti agama. Sedangkan
religiusitas merupakan sebuah pemahaman tentang keagamaan yang didalamnya
terdapat ajaran mengenai hubungan manusia dengan tuhannya serta hubungan
manusia dengan sesama manusia. Intelektualitas tidak dapat dipisahkan dengan
religiusitas, begitu pula sebaliknya.
Menurut para ahli sejarah, umat manusia
sudah memiliki religiusitas jauh sebelum munculnya agama-agama di dunia.
Berbeda dari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan, manusia tampaknya memiliki
kebutuhan dan kemampuan, yang bersifat kodrati dan batiniah, untuk menjadi
religius. Kebutuhan dan kemampuan yang bersifat kodrati dan batiniah semacam
itu kemudian terungkap secara lahiriah dalam berbagai bentuk, misalnya dalam
bentuk simbol-simbol, ritus-ritus, ajaran-ajaran, dan aturan-aturan.
Bila dibandingkan dengan adik-adik dan
orangtua mereka, ciri khusus dari mahasiswa pada umumnya adalah bahwa mereka lebih
tua daripada adik-adik mereka dan jauh lebih muda daripada orangtua mereka.
Para mahasiswa itu pada umumnya berusia sekitar 19-25 tahun. Mereka adalah
orang-orang muda. Mereka memang bukan anak-anak lagi, namun mereka juga belum
cukup tua untuk menjadi suami/istri atau ayah/ibu. Energi fisik mereka, pada
umumnya, sedang berada pada titik optimalnya. Namun, kondisi psikis mereka
belum stabil, masih mudah terguncang oleh berbagai hal. Sebagian dari mereka
sudah memiliki cita-cita yang agak jelas dan keinginan-keinginan tertentu di
masa depan, namun mereka belum menentukan cara-cara yang efektif untuk mencapai
cita-cita dan mewujudkan keinginan-keinginan itu.
Bila dibandingkan dengan kegiatan pokok
rekan-rekan sebaya mereka yang bukan mahasiswa, kegiatan pokok para mahasiswa
itu adalah membaca, berpikir, dan menulis. Kebanyakan dari mereka belum
memiliki pekerjaan tetap dan secara finansial belum mampu mencukupi diri
sendiri. Dalam hal-hal tertentu mereka masih tergantung pada orangtua atau wali
mereka.
Studi dan pergaulan mereka di lingkungan
akademisi itu dapat meningkatkan daya kritis para mahasiswa terhadap segala
hal. Peningkatan daya kritis itu juga dapat memengaruhi sikap mereka terhadap
religiusitas dan agama mereka sendiri. Terhadap agama, misalnya, mereka
barangkali tidak mau lagi menerima “begitu saja” semua pengajaran dan nasihat
para pemimpin agama. Sementara itu, terhadap religiusitas mereka sendiri para
mahasiswa barangkali merasa perlu untuk mempersoalkan beberapa aspek darinya.
Agama dan ilmu tidak terpisah atau
bertentangan, sebab kedua-duanya menyangkut umat manusia dan dunia. Umat
manusia membutuhkan kedua-duanya, sebab umat manusia membutuhkan Tuhan maupun
dunia. Umat manusia membutuhkan Tuhan, karena Beliau adalah asal-usul dan
tujuan akhir dari eksistensi umat manusia. Umat manusia juga membutuhkan dunia,
karena dunia adalah lingkungan yang saat ini memungkinkan umat manusia
bereksistensi, sebagai salah satu dari sekian banyak ciptaan tuhan.
Agama dan ilmu itu ibarat matahari dan
bulan, ibarat sendok dan garpu, ibarat baju dan celana. Kedua-duanya diperlukan
oleh manusia, bila manusia ingin hidup secara lengkap. Baik agama maupun ilmu
memiliki essential goals dan core business yang terkait
dengan kebenaran dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang berbeda hanyalah
cara yang dipakai untuk mencapai tujuan luhur itu dan aspek-aspek yang
diutamakan. Agama selalu menyertakan Tuhan dalam sepak terjangnya. Sementara
itu, ilmu selalu mengutamakan kemampuan manusia sendiri dalam seluruh usahanya
meneliti dan menemukan kebenaran.
Berhubungan dengan kenyataan itu, para
mahasiswa perlu didorong untuk ikut membangun agama agar agama bersikap welcome
terhadap ilmu, tidak bersikap arogan terhadap ilmu, bahkan
bersedia dengan rendah hati mengakui dan memanfaatkan ilmu. Bersamaan dengan
itu, mereka juga perlu didorong untuk ikut membangun ilmu agar ilmu juga
bersikap welcome terhadap agama, tidak melecehkan agama, bahkan
bersedia dengan rendah hati mengakui bahwa masalah-masalah tertentu dari
kemanusiaan merupakan domain agama.
Keseimbangan
antara religiusitas dan intelektualitas di kalangan mahasiswa sangat diharapkan
oleh bangsa ini. Mahasiswa yang nantinya akan terjun langsung ke masyarakat
diharapkan memiliki moral dan attitude yang baik agar bangsa ini terus maju
kedepannya.
Mahasiswa
merupakan asset bangsa ini. Dengan kreatifitas serta inovasinya, mahasiswa
dapat berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat. Namun akan lebih baik lagi
jika kreatifitas dan inovasi itu diimbangi dengan sifat religius sehingga
tercipta hubungan yang baik antara manusia satu dengan manusia yang lain. Hal
demikian sangat dibutuhkan dalam kehidupan mahasiswa.
0 komentar:
Posting Komentar